Sistem Kepemilikan Tanah HGU
Perlu saya samapikan secara khusus mengenai sistem kemilikan tanah sekal luas oleh ko-operasi, yaitu siarem HGU (Hak Guna Usaha).
Penguasaan lahan jumlah besar tersebut bersifat HGU (Hak Guna Usaha), yg artinya lahan secara fisik menjadi hak sementara pemegang HGU dan berhak memanfaatkan sesuai peruntukan dalam izin, dalam jangka waktu tertentu dan wajib diperpanjang jika habis. Biasanya priode puluhan tahun agar menjamin balik modal dan keuntungan dalam usaha.
HGU merupakan hak kepemilikan atas barang/ asset yg ada di suatu lahan baik yg ada didalamnya maupun diatasnya, bukan kepemilikan mutlak, namun diluar pemelik HGU tidak boleh memanfaatkan lahan tsb, tanpa izin dari pemegang HGU.
Dalam kepemilikan penguasan HGU, dalam aturan yg baru, tidak bisa secara semena². Pemilik HGU HARUS membeli dan atau mengganti rugi atas lahan tersebut termasuk tanam tumbuh dan bangunan jika ada diatas lahan tersebut, kepada pemilik lahan awal (dibuktikan dari sertifikat, surat garap atau hak adat dll) sesuai harga pasar setempat (nilai tanam tumbuh diatur oleh Pemda) dan harus sepakat dengan pemilik lahan.
Bahkan jika lahan itu ada dikawasan hutan yg telah dibebaskan menjadi wilayah HGU, namun biasanya dalam praktek lapangan sdh digarap oleh masyrakat sebelumnya yg statusnya notabene penggarap liar (karena diwilayah hutan yg sebelumnya belum ada pembebasan wilayah), maka pemilik HGU harus melakukan ganti rugi atas tanam tumbuh di lahan yg digarap masyarakat tsb.
Artinya karena ini jual beli, ada kesepakatan jual beli. Yg namanya kesepakatan, jika pemilik awal lahan tidak mau, pemilik HGU tidak bisa memaksakan beli untuk merubah status lahan menjadi HGU dengan cara apapun.
Jadi ketika ada protes atau demo masyarakat dikemudian hari atas kepemilikan lahan HGU perusahaan, biasanya kemungkinan yg telah terjadi adalah:
itu bagian darinsistem HGU lama yg kepemilikannya cendrung mengabaikan hak pribadi dimasa lalu.
Adanya permainan jual beli awal antara pembeli (pemilik HGU), oknum calo tanah, dan masyarkat yg ngaku jual tanah miliknya padahal bukan.
Oknum masyarakat yg serakah atau rakus mengklaim lahan yg sebenarnya sdh di jual ke perusahaan tetapi kemudian menyesal dan minta dibayar lagi.
Adanya tumpang tindih kepemilikan lahan.
oleh karena itu oleh Pemerintah saat ini, sebagai salah satu anggenda reformasi agrarianya adalah memberikan sertifikat tanah secara massif pada masyarakat atas lahan yg dimiliki. Sehingga salah satu manfaatnya status lahan jadi jelas. Jika lahan tersebut masuk wilayah HGU, pemilik lahan mempunyai posisi tawar yg tinggi.
Belum lagi, peraturan baru pemerintah pusat saat ini, pemilik HGU harus mengembalikan lahan yg sdh dibeli dan ditanami (jika itu HGU perkebunan sawit dan sejenisnya) kepada masyarakat sekitar dan di prioritaskan lagi pemilik lahan awal, sebesar 25% s/d 40% (tergantung peraturan pemerintah DAERAH) dalam bentuk plasma.
Ingat ya lahan yg dibalikkan dalam bentuk plasma ini sdh dibuka, ditanami dan menghasilkan dalam pengawasan pemilik HGU, dan ini WAJIB hukumnya. Enak bukan secara teori?
Jadi kepemelikan HGU saat ini berbeda dengan jaman sebelum reformasi, dimana perusahaan, yg ditunjuk oleh pemerintah sebagai pemegang HGU tidak diharuskan membeli lahan. Berhak mengambil lahan tanpa ganti rugi, menggunakkan kekerasan membayar preman dan preman berseragam.
Dan tidak semua lahan bisa dijadikan HGU perkebunan dan pertambangan. Harus mempertimbangkan zona pemukiman, sarana pemerintahan, hutan pokok dan lain².
Sistem HGU ini sdh ada sejak dulu, namun semakin disempurnakan oleh pemerintah pusat saat ini. Sehingga semakin berpihak pada masyarakat. Tidak hanya bersembunyi dan menyelewengkan kata dalam UUD 1945, bahwa tanah air dan kekayaan yg terkandung didalamnya dikuasi oleh negara - dengan menyebunyikan atau menyelewengakan kata: - dan dipergunakan seluas²nya untuk kesejahteraan rakyat.
Makanya banyak pemilik HGu lama yg menelantarkan HGU nya tanpa diolah, karena didapat dengan cara nyaris tanpa biaya berarti. Dan wilayah HGU ini menjadi menggantung sifatnya.
Banyal lho pemilik HGU sistem lama yg bandel, kemudian dicabut dan tidak diperpanjang izinnya.
Dalam suatu acara Prsesiden Jokowi, saat dikrtik bahwa banyak lahan dikuasai oleh ko-operasi, yg merupakan pengusaan sistem HGU lama, membuka peluang kepada pihak pengkritik, untuk mendapat lahanHGU dengan sistem baru ini. Pengkritik ini wakil sari salah satu ormas keagamaan terbesar, yg saya tangkap tidak memahami secara menyeluruh permasalahan agraria di negara ini akibat kebijakan yg lalu.
Jawaban dan tantangan balik Presiden ini merupakan jawaban pembuka atas isu lama dan sekaligus upaya memutus benang kusut konflik agraria. Kabarnya sdh bersambut tantangan rencana tsb.
Lahan yg dialihakan tersebut sedianya diambil dari HGU lama yg bermasalah. Ini menunjukkan keseriusan pemerintah saat ini mereformasi sistem pertanahan di Indonesia, secara berkedilan dan win² solution bagi semua pihak. Baik itu masa lalu, sekarang dan yg akan datang.
Jadi ingat iklan dari seseorang jaman dulu: Enak toh jaman ku??
Izin HGU dengan mempertimbangkan hal² diatas tidak bisa asal buat sampai 100rb hektar bahkan lebih. Karena Ko-operasi yg mengajukan izin HGU harus menyertakan catatan kepemilikan dana untuk mengcover biaya bebas lahan sebagai mana yg disebutkan diatas. Itu berat ferguso.
Red : PT Mutiara Agro Perkasa

Komentar
Posting Komentar